Filosofi Pengasuhan dan Pendidikan Anak

Post a Comment



Sebagai orang tua, pernahkah kita berpikir bagaimana kita akan meng-asah, asuh, asih anak kita? Mengapa kita perlu berlaku atau memperlakukan begini dan begitu?

Atau sudahlah cukup kita jalani saja tanggung jawab pengasuhan ini sebaik sebisa mungkin, toh setiap orang tua juga pastinya menginginkan yang terbaik untuk anaknya? Pun, ada banyak teori pengasuhan dan pendidikan di berbagai media yang bisa kita akses dan adopsi! 

Sejak awal kehidupan manusia, peran pengasuhan dan pendidikan anak telah menjadi inti dari perkembangan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam proses ini, para orang tua, wali, dan masyarakat memainkan peran sentral dalam membentuk karakter, sikap, dan pemahaman anak-anak tentang dunia yang mereka hadapi. Di balik proses ini, terdapat suatu pandangan dan filosofi yang mengarahkan pendekatan pengasuhan dan pendidikan anak.

Filosofi pengasuhan dan pendidikan anak mencakup berbagai aspek, termasuk nilai-nilai, pandangan tentang dunia, kepercayaan, serta metode dan strategi yang digunakan dalam membimbing dan membentuk anak-anak menjadi individu yang berkualitas. Pendekatan ini dapat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, agama, norma sosial, dan pandangan filosofis tertentu yang dianut oleh orang tua dan/atau masyarakat.

Dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, setiap orang tua atau pengasuh memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk pribadi anak yang seimbang (emosional, akademik, dan spiritual) untuk dapat menjalani kehidupan yang patut di dunia, dengan harapan agar memperoleh kehidupan yang lebih mulia lagi di akhirat. 

Pentingnya filosofi pengasuhan dan pendidikan anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan individu, tetapi juga berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Anak-anak yang mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang baik memiliki potensi untuk menjadi generasi masa depan yang berkontribusi positif bagi dunia. 

Menurut praktisi pendidikan Charlotte Mason, adalah tugas pertama orang tua untuk merumuskan filosofi keluarga. Untuk melihat lagi bagaimana sejatinya orang tua memandang hakikat anak. Kita kerapkali mendengar dan mengamini bahwa anak itu amanah atau titipan dari Allah. Tapi benarkah kita, para orang tua, juga meng’imani’nya? Meyakini bahwa anak adalah amanah seharusnya mengantarkan orang tua pada pemahaman bahwa anak, hasil didikan dan asuhan mereka, kelak akan mereka pertanggung jawabkan kepada Sang Penitip. Apakah mereka akan menjadi kemuliaan atau hujat bagi Tuhan? Apakah mereka akan jadi berkat atau kutuk bagi dunia? Dengan demikian, orang tua tidak akan berani membesarkan semena-mena, sesuai kehendaknya, karena anak adalah titipan yang amat sangat berharga.

Di sini, Charlotte Mason menegaskan bahwa anak bukanlah properti eksklusif milik orang tua, melainkan anak adalah titipan Tuhan dan umat manusia untuk dibesarkan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, tanggung jawab mendidik anak tidak bisa secara serampangan orang tua serahkan kepada guru privat, atau suatu lembaga sekolah saja. Tidak cukup.

Adalah tugas orang tua, memastikan anaknya bertumbuh menjadi manusia yang memiliki karakter luhur, memuliakan Tuhan dengan segala potensinya yang dikembangkan. Menurutnya, pendidikan di rumah adalah yang utama. Apa yang orang tua lakukan, ucapkan, dan biasakan itu yang akan terpatri dalam di diri anak. Karenanya, membesarkan anak tidak cukup hanya mengandalkan agama dengan dibersamai doa dan harapan saja. Ada hukum-hukum universal terkait tumbuh kembang manusia secara fisik, dan psikis; bagaimana otak dan mental bekerja. Hukum ini berlaku bagi semua orang, melintasi sekat agama. 

Charlotte Mason juga berpendapat bahwa anak adalah pribadi yang utuh. Dari sejak anak dilahirkan, dia memiliki hasrat, emosi, hati nurani, dan bakat. Hal ini bertentangan dengan filsuf di eranya, seperti John Locke, yang berpendapat bahwa jiwa manusia adalah tabula rasa, terlahir kosong tanpa modal bawaan. Filosofi ini yang kemudian juga dianut oleh para pendidik di eranya. Mereka beranggapan anak ibarat ember kosong, yang tidak memiliki suatu pengetahuan apapun sebelum dididik oleh mereka. Atau ibarat plastisin, yang bisa mereka bentuk sesuai kehendak mereka.

Charlotte Mason menentang keras pendapat tersebut. Baginya, anak ibarat obor yang berisi minyak penuh. Dia hanya menunggu dipantik dengan api kecil untuk kemudian bisa menyala berkobar-kobar. Anak terlahir dengan membawa modal. Anak terlahir sebagai pribadi yang utuh, yang akan terus menyingkapkan dirinya seiring dengan pertambahan usia. Orang tua dan pendidik hanya perlu membantu pribadi itu mekar dalam segala kekuatan laten yang dimilikinya dan mengatasi kelemahan-kelemahan yang dibawanya.

Pada akhirnya pandangan serta nilai apapun yang orang tua yakini terkait asah asuh asih anak akan mewarnai pola mereka membesarkan anak. Mungkin sesekali orang tua off the track, berperilaku tidak sesuai teori atau nilai yang dipercaya, tapi dengan orang tua memegang satu prinsip filosofi pendidikan dan pengasuhan anak, mereka akan berusaha kembali pada jalurnya. Betapapun mulia nilai dan niat orang tua dalam membesarkan anak, realitasnya mereka tetaplah manusia yang tak luput dari salah dan khilaf. Dan orang tua punya jatah itu dalam hal membesarkan anak. Dengan catatan lalu orang tua melakukan ‘pertaubatan’.

Artikel Terkait

Post a Comment