Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang sudah lama berkembang di negara Eropa, Amerika dan beberapa negara maju lainnya. Dalam perkembangannya, berbagai eksperimen dan eksplanasi yang dilakukan oleh para ilmuwan hanya memperhatikan aspek yang ada di lingkungan sekitarnya. Psikologi tersebut kemudian dianggap sebagai kajian yang universal dan bisa diaplikasikan di semua daerah. Daerah yang secara teoritis kurang mumpuni harus “mengimpor” teori dari luar (Nsamenang dalam Kim, et.al, 2006).
Pandangan semacam itu kemudian menimbulkan
keresahan para ilmuwan di beberapa negara tertentu. Alasannya adalah bahwa tiap
daerah memiliki budaya, karakter, iklim, letak geografis dan juga masyarakat
yang sangat beragam. Kritik atas psikologi umum yang dianggap universal dan
bisa diaplikasikan ke semua kawasan melahirkan suatu kajian psikologi lokal
yang kemudian disebut sebagai psikologi indigenos (indigenous psychology).
Kita ambil contoh teori Hirarki kebutuhan
Maslow, teori ini mengungkapkan bahwa kebutuhan atau prioritas manusia untuk
melakukan sesuatu adalah bersifat berjenjang dan hierarkis, artinya individu
harus memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih rendah sebelum dapat mencapai
tingkat yang lebih tinggi. Jika suatu tingkat kebutuhan tidak terpenuhi, itu
akan menjadi prioritas utama dalam motivasi individu. Dalam kajian ilmu
psikologi dan manajemen, teori ini diterima begitu saja dan dianggap penting berlaku
bagi setiap individu. Padahal dalam konteks masyarakat Indonesia yang berkultur
komunal, kebutuhan sosial (belongingness) bisa jadi lebih diutamakan
ketimbang kebutuhan fisiologis diri sendiri. Bagi orang Jawa, nyumbang atau
buwuh, arisan, dan pemberian angpau atau wisit adalah salah satu
motivasi utama seseorang dalam bekerja dan diprioritaskan. Di sini, kebutuhan
fisiologis tidak lebih utama ketimbang kebutuhan sosial, tidak hirarkis. Keduanya
bisa jadi beriringan atau justru terbalik posisinya.
Psikologi indigenos mempertanyakan
universalitas teori psikologi umum (general psychology) dan berusaha
untuk menemukan universalitas psikologi dalam konteks sosial, budaya dan
lingkungan atau konten makna, nilai dan kepercayaan (Kim, et.al, 2006). Negara
Eropa dan Amerika tentunya mempunyai individu, etnis dan budaya yang berbeda
dengan di Indonesia. Oleh karena itu, kajian psikologi di lingkungan Eropa atau
Amerika dengan karakter yang individualis dan kompetitif mungkin tidak cocok
diterapkan di Indonesia yang mempunyai karakter kolektif dan harmonis.
Setelah itu, muncullah gagasan agar kajian
psikologi dikembangkan di masing-masing daerah dengan mempertimbangkan konteks
historis, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan (Kim, et.al, 2006).
Pengembangan psikologi dengan cara tersebut akan mempunyai dua manfaat
sekaligus. Pertama secara teoritis psikologi tidak hanya keilmuan
etnosentris yang berpusat di Eropa atau Amerika saja tetapi mempunyai banyak
model dan ragam di berbagai daerah. Pengembangan dari teori besar (grand
theory) yang sudah ada akan memperluas kajian psikologi, apakah itu dengan
munculnya penolakan, penguatan, sintesis, ataupun modifikasi dari teori-teori
yang sudah ada.
Kedua secara
praktis psikologi indigenos menggali dan menyerap nilai-nilai bahasa, kearifan
dan budaya lokal sehingga lebih aplikatif dan masyarakat lebih bisa memahami
psikologi. Misalnya Prihartanti, dkk (2003) yang mengkaji konsep rasa dari
Suryomentaram sebagai model kesehatan mental positif. Walaupun sama-sama
mengkaji konsep rasa dari tanah Jawa Yogyakarta, namun kajian Prihartanti mempunyai
perbedaan dengan konsep rasa Geertz dari Jawa Timur.
Dengan demikian, general psychology bukanlah
merupakan oposisi biner dengan indigenous psychology yang harus selalu
dilawankan. General psychology bisa menjadi dasar teoritis yang kemudian
nantinya akan diverifikasi dan dikomparasikan dengan indigenous psychology yang
menjadi kajian empiris dalam psikologi. Dengan verifikasi dan komparasi
ini, terjadilah sintesis antara keduanya yang melahirkan kajian-kajian baru
yang nantinya akan terus berkembang.
Kajian psikologi indigenos merupakan
rintisan dari para ilmuwan yang tidak hanya ingin berkiblat pada psikologi umum
yang mana awalnya juga merupakan kajian psikologi lokal. Prawitasari (dalam
Buletin Psikologi edisi 14, volume 1) menyebut psikologi indigenos di Indonesia
sebagai psikologi Nusantara, suatu konsep psikologi lintas budaya yang
mendasarkan kajiannya di Indonesia.
Dengan menggali dan mengkaji konteks historis, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan, psikologi diharapkan mempunyai banyak model guna menyelesaikan masalah psikologis setempat. Dengan demikian, psikologi tidak hanya menjadi kajian ilmiah yang elitis dan melangit, tetapi juga membumi dan memahami masyarakat lokal serta melestarikan lokalitasnya.
Post a Comment
Post a Comment