Nasihat Usang, Mutiara Pergaulan: Tinggalkan Berdebat Dengan "Orang yang Bodoh"

Post a Comment


Salah seorang Ulama' berkebangsaan Mesir berpesan agar kita menghindari perdebatan (kitab نزهة الأبصار بطرائف الأخبار, hlm. 233).  

ولا تجادل جهولاً ليس يفهم ما ... تقول فالشر كل الشر في الجدل
Janganlah berdebat dengan orang bodoh yang tidak mengerti apa yang Anda katakan... 
Karena semua keburukan ada dalam perdebatan

Sekilas nasihat ini tampak aneh, karena perdebatan sepertinya bukanlah suatu masalah. Bahkan, adu perdebatan dinilai dapat bermanfaat dalam mengembangkan pemikiran kritis dan pemahaman lebih mendalam tentang suatu isu. Apalagi di musim kontestasi politik, adu debat calon pemimpin menjadi ajang yang dinanti-nantikan. Debat memberikan kesempatan bagi pemilih untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang visi, kebijakan, dan pandangan calon presiden. Tetapi yang kita lupa di sini adalah debat terbuka itu sama dengan mempertontokan retorika atau kemampuan berkomunikasi mengolah kata. Dan itu bisa jadi mengecoh atau topeng belaka. 

Dalam konteks hubungan sosial dengan masyarakat yang beragam latar belakang agama, aliran, kepercayaan, dan bahkan kebiasaan dan kebudayaan, perdebatan juga menjadi hal yang tampak digemari. Setiap orang berlomba memenangkan sebuah argumen atau membuktikan bahwa pendapat mereka yang paling benar. Terjadi gontok-gontokan, lalu timbul konflik dan perpecahan.

Yang sering tidak terhindarkan lagi adalah perdebatan antara orangtua dan anak. Pada usia dini dimulai sekitar 2 tahunan, anak berada pada fase di mana dia memiliki keinginan melakukan segala sesuatu sendiri, meskipun sebenarnya dia belum bisa atau belum tahu.  Adu argumen menjadi tidak terelakkan ketika anak sudah pandai mengutarakan kemauannya ini. Anak menjadi bertingkah seolah menentang segala ucapan orang tua, dan tidak mau menurut apa yang diperintahkan atau diucapkan orang tua. Anak butuh argumen. Di sini, orang tua seringkali terpancing untuk berkonfrotasi dengan anak, karena menganggap anak belum mampu dan belum tahu sehingga perlu orang tua yang mengajarkan caranya, atau bahkan melakukan atau memilihkan segala sesuatunya. Dengan dalih untuknya (anak), demi kebaikannya (anak). Ketrampilan tarik-ulur serta kemampuan untuk melihat diri anak secara objektif sangat dibutuhkan orang tua di sini, agar tidak menjadi adu argumen berlebih yang justru akan menguras energi dan emosi. 

Maka menjadi penting bagi kita untuk mengangen-angen kembali nasihat yang sekilas tampak usang ini. Meski tidak dipungkiri perdebatan juga berpotensi menimbulkan maslahat, tapi perdebatan  memilik beberapa kekurangan dan dampak negatif. Beberapa dari kekurangan tersebut antara lain: 

1. Ketegangan Antarindividu: Perdebatan seringkali melibatkan konfrontasi dan perbedaan pendapat yang dapat menciptakan ketegangan antarindividu. Ini dapat merusak hubungan personal dan memperburuk lingkungan sosial.

2. Polarisasi: Terkadang, perdebatan malah memperkuat polarisasi. Orang cenderung berpegang pada pandangan mereka sendiri dan mengabaikan pandangan lain. Dalam berdebat, orang cenderung mencari pembenaran, ketimbang kebenaran. Ini bisa menghambat dialog konstruktif dan pemahaman bersama. 

3. Sifat Defensif: Perdebatan sering mendorong sifat defensif, di mana orang lebih cenderung untuk mempertahankan pandangan mereka tanpa benar-benar mendengarkan argumen lawan. Hal ini bisa menghambat proses pembelajaran dan pertukaran ide yang diharapkan terjadi dalam perdebatan.

4. Mengabaikan Nuansa dan Konteks: Dalam perdebatan, terkadang nuansa dan konteks dapat terabaikan. Hal ini dapat menyederhanakan isu yang kompleks menjadi argumen yang hitam-putih, menghilangkan pemahaman yang lebih dalam. Isu ziarah kubur misalnya, dalam medan adu argumen isu ini cenderung langsung terjadi dikotomi hitam-putih, haram-halal.

5. Menimbulkan Stres dan Frustrasi: Bagi beberapa orang, terlibat dalam perdebatan dapat menimbulkan stres dan frustrasi. Mereka mungkin merasa tidak nyaman dengan konflik atau merasa terancam oleh perbedaan pendapat. Pada perdebatan antara orang tua dan anak, tingkat stres dan frustasi ini tinggi. Karena keduanya merupkan individu yang tidak bisa terlepaskan satu sama lain.

6. Waktu yang Dibutuhkan: Perdebatan yang mendalam dan bermakna jelas memerlukan waktu. Sayangnya, jika perdebatan menjadi terlalu panjang seringkali berakhir dengan tanpa menghasilkan kesimpulan yang jelas. Ini hanya akan membuang-buang waktu.

7. Mengabaikan Solusi: Terkadang, fokus perdebatan fokus adalah pada memenangkan argumen daripada mencari solusi. Ini bisa menghambat kemampuan orang untuk mencapai kesepakatan atau langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah. Perdebatan menjadi upaya yang kontrapduktif.

8. Potensi Pencemaran Informasi: Dalam perdebatan yang kurang terarah atau dengan partisipasi yang kurang berkualitas, ada risiko bahwa informasi yang salah atau biasa dapat tersebar luas, menyebabkan kebingungan atau miskonsepsi. Penggalan kalimat, ide atau argumen dalam perdebatan rentan disebarluaskan oleh lawan berdebat, untuk menggiring opini pada kesalahan lawan tersebut.

Artikel Terkait

Post a Comment