Cukupkah Cinta Sebagai Modal Mengasuh Anak?

Post a Comment

 

Bagi kebanyakan orang tua, terutama ibu, kehadiran seorang anak mengubah konstelasi kehidupan mereka. Banyak hal yang berubah dalam diri dan kehidupan orang tua; fisik, emosi, pandangan terhadap dunia, pun visi hidup berubah. Secara alamiah, orang tua memiliki cinta yang meluap untuk anak. Cinta menghasilkan rasa empati, kepedulian, dan rasa sayang. Cinta ini pula yang memampukan orang tua bertahan melewati masa-masa sulit dalam merawat dan mengasuh anak.

Pada perjalanannya, merawat dan membersamai anak tidak selalu menjadi momen yang indah. Ada masanya kita harus bergulat dengan emosi dan ego diri sendiri, dengan rasa lelah yang terasa tiada ujung, atau mungkin dengan mimpi diri sendiri yang harus ditunda atau dikesampingkan. Lalu seiring bertumbuhnya anak, mereka mulai menunjukkan tingkah polah yang membuat kita kebingungan dan di lain momen tingkah mereka berubah menjadi terasa menjengkelkan. Pada titik ini, cinta itu bisa menjadi kalah. Emosi dominan dan kebiasaan pembawaan orang tua menjadi yang dominan merespon, menanggalkan rasa sayang, empati dan kepedulian terhadap anak. Sayangnya, kita dan hampir kebanyakan orang menyimpan trauma dan luka pengasuhan. Emosi negatif ini pun tersalurkan ke anak, karena orang cenderung akan berperilaku sebagaimana dia biasa diperlakukan (semasa kecil). Sehingga tak jarang kita temui beragam cerita dan berita dari berbagai masa tentang tindakan gila orang tua terhadap anaknya. Ada anak yang dibuang, anak yang diabaikan, anak yang dipukuli bahkan sampai terbunuh. Pelaku dari semua itu adalah orang tua mereka.

Dengan kesadaran akan hal tersebut, saya sepakat dengan Charlotte Mason yang mengatakan bahwa “kita butuh lebih dari sekedar dorongan cinta yang emosional untuk menunaikan amanah ini (pengasuhan anak)”. Terlebih dalam keyakinan kita (muslim), anak adalah titipan. Amanah dari Allah untuk kita asuh dan didik. Mendidik mereka adalah suatu tugas yang akan kita pertanggungjawabkan. Jadilah mendidik mereka merupakan tugas untuk mengantarkan mereka untuk tetap menjadi hamba Allah, menjadi sosok yang diciptakan untuk menjadi khalifah (pengganti) pelaksana tugas Allah di bumi, menjadi sosok berkat bagi dunia. Sehingga tidak berlebihan atau mendramatisir jika dikatakan orang tua perlu memiliki cinta yang berpikir, a thinking love. Cinta yang dilengkapi dengan ilmu. Ibu CM mendobrak kesadaran lagi dengan argumen “bukankah untuk mendesain sepatu atau membangun rumah, untuk membangun kapal atau mesin kereta api, dibutuhkan program magang yang panjang. Apakah menyingkap kemanusiaan seorang anak dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana dari itu sehingga siapapun boleh memegang kekuasaan dan mengelolanya tanpa persiapan apapun?”.

Sayang sekali, sampai detik ini belum pernah ada sekolah persiapan khusus untuk menjadi orang tua atau sekedar jurusan atau program studi dalam bangku perkuliahan. Rasa-rasanya kebanyakan orang tua menjadi meraba-raba tentang apa yang perlu pelajari untuk kemudian diterapkan terhadap dan untuk anak. Dalam kegagapan, sepasang orang tua kerap kali hanya mengandalkan insting dan nalar praktis (common sense). Berguru dan mencomot ide pengasuhan dari yang dianggap sebagai lebih berpengalaman; dari sesepuh, teman, tetangga, influencer, atau bahkan hanya sekilas opini yang mampir di beranda media sosial kita. Padahal sejatinya menurut ibu CM, ilmu pokok yang idealnya orang tua kuasai adalah dasar-dasar fisiologi dan psikologi. Bagaimana menjalani kehamilan yang sehat, bagaimana menyediakan standar emas makanan untuk bayi, bagaimana menjaga kesehatan bayi (atau anak), bagaimana tata laksana perawatan anak sakit, dan lain sebagainya. Dengan ilmu psikologi, orang tua belajar bagaimana mendampingi dan mengasuh anak secara sehat, bagaimana merespon tangisan bayi, bagaimana menstimulasi perkembangan anak, bagaimana menghadapi perilaku-perilaku sulit anak di periode terrible two dan remaja, bagaimana membantunya mengelola emosi negatif. Orang tua perlu memiliki lebih dari sekadar informasi “katanya” tentang ilmu mendidik, begitu amar ibu CM. Karena konsekuensi dari kebenaran amatlah besar, maka jangan lalai menimbangnya dengan seksama, demikian kata Whichcote.

Namun, kita dan setiap orang tua mungkin belum memiliki ilmu-ilmu tersebut dan kita tentu bukan manusia yang sempurna. Itu tak menjadi mengapa, asalkan kita mau terus belajar, berbenah dan tidak mengeraskan hati. Dengan bekal cinta yang berpikir dan dengan bertambahnya jam terbang mendampingi anak, kita akan semakin mahir menyelaraskan antara teori dan praktik, semakin terampil mengolah situasi. Dan sama seperti profesi lain, orang tua yang hebat hanya lahir dari praktik langsung setiap hari membersamai tumbuh kembang anak.

Kata Ellen Kristi yang mengutip dari CM, “awalnya mungkin kita khawatir kita tak cukup mampu mencintai, tetapi anak-anak bisa mengajari kita bagaimana mencintai dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan pikiran, bahkan lebih dari kita mengasihi diri sendiri. awalnya mungkin kita cemas kita tak cukup cerdas untuk mengajari, tapi keinginan untuk memberi yang terbaik bagi anak akan mendorong kita belajar apa saja demi kepentingannya. Tidak ada sekolah kepribadian di dunia ini yang menawarkan pelajaran-pelajaran pendewasaan diri sebanding dengan anak-anak. Setiap tahun yang kita habiskan untuk mendidik dan mengasuh anak adalah pengalaman belajar yang komplet, utuh, dan tak ternilai harganya. Anak-anak bisa mengeluarkan semua potensi terbaik dalam diri kita, yang sebelumnya kita tak sadari tersimpan di sana. Syaratnya hanya satu, janganlah kita mengeraskan hati untuk belajar dan terbuka”. Sejalan dengan ini Naomi Aldort mengungkapkan bahwa mendidik anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri; raising children, raising ourselves. Dan inilah pekerjaan dan tugas kita, wahai ayah dan ibu.

Artikel Terkait

Post a Comment