Bagi kebanyakan orang tua, terutama ibu,
kehadiran seorang anak mengubah konstelasi kehidupan mereka. Banyak hal yang berubah
dalam diri dan kehidupan orang tua; fisik, emosi, pandangan terhadap dunia, pun
visi hidup berubah. Secara alamiah, orang tua memiliki cinta yang meluap untuk
anak. Cinta menghasilkan rasa empati, kepedulian, dan rasa sayang. Cinta ini
pula yang memampukan orang tua bertahan melewati masa-masa sulit dalam merawat
dan mengasuh anak.
Pada perjalanannya, merawat dan membersamai
anak tidak selalu menjadi momen yang indah. Ada masanya kita harus bergulat
dengan emosi dan ego diri sendiri, dengan rasa lelah yang terasa tiada ujung, atau
mungkin dengan mimpi diri sendiri yang harus ditunda atau dikesampingkan. Lalu seiring
bertumbuhnya anak, mereka mulai menunjukkan tingkah polah yang membuat kita
kebingungan dan di lain momen tingkah mereka berubah menjadi terasa
menjengkelkan. Pada titik ini, cinta itu bisa menjadi kalah. Emosi dominan dan
kebiasaan pembawaan orang tua menjadi yang dominan merespon, menanggalkan rasa
sayang, empati dan kepedulian terhadap anak. Sayangnya, kita dan hampir kebanyakan
orang menyimpan trauma dan luka pengasuhan. Emosi negatif ini pun tersalurkan
ke anak, karena orang cenderung akan berperilaku sebagaimana dia biasa diperlakukan
(semasa kecil). Sehingga tak jarang kita temui beragam cerita dan berita dari
berbagai masa tentang tindakan gila orang tua terhadap anaknya. Ada anak yang
dibuang, anak yang diabaikan, anak yang dipukuli bahkan sampai terbunuh. Pelaku
dari semua itu adalah orang tua mereka.
Dengan kesadaran akan hal tersebut, saya
sepakat dengan Charlotte Mason yang mengatakan bahwa “kita butuh lebih dari
sekedar dorongan cinta yang emosional untuk menunaikan amanah ini (pengasuhan
anak)”. Terlebih dalam keyakinan kita (muslim), anak adalah titipan. Amanah dari
Allah untuk kita asuh dan didik. Mendidik mereka adalah suatu tugas yang akan
kita pertanggungjawabkan. Jadilah mendidik mereka merupakan tugas untuk
mengantarkan mereka untuk tetap menjadi hamba Allah, menjadi sosok yang
diciptakan untuk menjadi khalifah (pengganti) pelaksana tugas Allah di bumi, menjadi
sosok berkat bagi dunia. Sehingga tidak berlebihan atau mendramatisir jika
dikatakan orang tua perlu memiliki cinta yang berpikir, a thinking love.
Cinta yang dilengkapi dengan ilmu. Ibu CM mendobrak kesadaran lagi dengan
argumen “bukankah untuk mendesain sepatu atau membangun rumah, untuk membangun
kapal atau mesin kereta api, dibutuhkan program magang yang panjang. Apakah menyingkap
kemanusiaan seorang anak dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana
dari itu sehingga siapapun boleh memegang kekuasaan dan mengelolanya tanpa persiapan
apapun?”.
Sayang sekali, sampai detik ini belum
pernah ada sekolah persiapan khusus untuk menjadi orang tua atau sekedar
jurusan atau program studi dalam bangku perkuliahan. Rasa-rasanya kebanyakan orang
tua menjadi meraba-raba tentang apa yang perlu pelajari untuk kemudian diterapkan
terhadap dan untuk anak. Dalam kegagapan, sepasang orang tua kerap kali hanya
mengandalkan insting dan nalar praktis (common sense). Berguru dan
mencomot ide pengasuhan dari yang dianggap sebagai lebih berpengalaman; dari sesepuh,
teman, tetangga, influencer, atau bahkan hanya sekilas opini yang mampir di
beranda media sosial kita. Padahal sejatinya menurut ibu CM, ilmu pokok yang
idealnya orang tua kuasai adalah dasar-dasar fisiologi dan psikologi. Bagaimana
menjalani kehamilan yang sehat, bagaimana menyediakan standar emas makanan
untuk bayi, bagaimana menjaga kesehatan bayi (atau anak), bagaimana tata laksana
perawatan anak sakit, dan lain sebagainya. Dengan ilmu psikologi, orang tua
belajar bagaimana mendampingi dan mengasuh anak secara sehat, bagaimana
merespon tangisan bayi, bagaimana menstimulasi perkembangan anak, bagaimana
menghadapi perilaku-perilaku sulit anak di periode terrible two dan
remaja, bagaimana membantunya mengelola emosi negatif. Orang tua perlu memiliki
lebih dari sekadar informasi “katanya” tentang ilmu mendidik, begitu amar ibu
CM. Karena konsekuensi dari kebenaran amatlah besar, maka jangan lalai
menimbangnya dengan seksama, demikian kata Whichcote.
Namun, kita dan setiap orang tua mungkin
belum memiliki ilmu-ilmu tersebut dan kita tentu bukan manusia yang sempurna. Itu
tak menjadi mengapa, asalkan kita mau terus belajar, berbenah dan tidak
mengeraskan hati. Dengan bekal cinta yang berpikir dan dengan bertambahnya jam
terbang mendampingi anak, kita akan semakin mahir menyelaraskan antara teori
dan praktik, semakin terampil mengolah situasi. Dan sama seperti profesi lain,
orang tua yang hebat hanya lahir dari praktik langsung setiap hari membersamai tumbuh
kembang anak.
Kata Ellen Kristi yang mengutip dari CM, “awalnya
mungkin kita khawatir kita tak cukup mampu mencintai, tetapi anak-anak bisa
mengajari kita bagaimana mencintai dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan
pikiran, bahkan lebih dari kita mengasihi diri sendiri. awalnya mungkin kita
cemas kita tak cukup cerdas untuk mengajari, tapi keinginan untuk memberi yang
terbaik bagi anak akan mendorong kita belajar apa saja demi kepentingannya. Tidak
ada sekolah kepribadian di dunia ini yang menawarkan pelajaran-pelajaran
pendewasaan diri sebanding dengan anak-anak. Setiap tahun yang kita habiskan
untuk mendidik dan mengasuh anak adalah pengalaman belajar yang komplet, utuh,
dan tak ternilai harganya. Anak-anak bisa mengeluarkan semua potensi terbaik
dalam diri kita, yang sebelumnya kita tak sadari tersimpan di sana. Syaratnya hanya
satu, janganlah kita mengeraskan hati untuk belajar dan terbuka”. Sejalan dengan
ini Naomi Aldort mengungkapkan bahwa mendidik anak pada hakikatnya adalah
mendidik diri sendiri; raising children, raising ourselves. Dan inilah
pekerjaan dan tugas kita, wahai ayah dan ibu.
Post a Comment
Post a Comment