Kehadiran anak bagi kebanyakan orang tua adalah anugerah. Sesosok manusia yang rasanya begitu saja dihadiahkan dalam kehidupan orang tua. Namun pada hakikatnya, siapakah anak kita?. Untuk menjawab ini, Charlotte Mason mengajukan sebuah pandangan yang begitu menggugah yaitu children are born persons, bahwa anak dilahirkan sebagai pribadi utuh. Saya cukup terkesima dengan filosofi pendidikan CM ini. Mengiyakan argumen-argumen yang dibangunnya. Saya cukup merasakan dampak dari pandangan bahwa anak adalah kertas kosong. Betapa tidak enaknya diri ini saat tidak didengarkan keinginan dan perasaannya. Betapa terkungkungnya diri ini saat hanya menjadi objek dari pendidikan. Hanya karena diri ini masih anak-anak. Dan tumbuh menjadi dewasa dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh orang lain membuatku merasakan betul bahwa anak adalah pribadi yang utuh. Pribadi yang memiliki daya nalar, hasrat, karakter dan potensi tersendiri.
Betul bahwa manusia terlahir tidak memiliki pengetahuan suatu apapun, tapi setiap anak terlahir sebagai manusia utuh yang telah dibekali dengan hasrat, daya nalar, imajinasi serta potensi dan segenap daya budi yang dibutuhkan olehnya untuk belajar dan bertumbuh kembang.
Dua tahun pertama kehidupan anak adalah fase yang harusnya cukup menyadarkan kita, orang dewasa, bahwa anak juga seseorang dengan pribadi utuh. Bayi yang semula terlahir hanya mampu berkomunikasi lewat tangisan, saat 2 tahun mampu menceritakan banyak hal yang dijumpai dan dialaminya. Bayi yang semula akan manut saja dimandikan, mulai menunjukkan pemberontakan saat diajak mandi.
Dengan demikian, tidak seharusnya orangtua ataupun pendidik berlaku semena-mena terhadap anak, dengan dalih mendisiplinkan atau mendidik anak. Hanya karena anak itu masih anak-anak, bukan berarti dia tidak bisa diajak memilih yang terbaik untuk dirinya. Filosofi ini mungkin akan sulit diterapkan jika tanpa disertai dengan pemahaman orangtua ataupun pendidik tentang tahapan perkembangan sosial-psikologis anak. Atas nama untuk kebaikan anak, orangtua bisa terperangkap pada idealisme dan ekspektasinya sendiri yang kadang memunculkan konflik, serta membuat frustasi diri sendiri juga anak.
Anak-anak juga bukan malaikat yang tidak pernah berbuat salah, tetapi mereka terlahir dengan segala potensinya untuk menjadi baik dan buruk. Kekuatan kehendak itu harus dilatih dengan proses bernama "ketaatan" sehingga menjadi kuat. Anak-anak / orang-orang yang berkehendak kuat adalah orang yang mampu memilih untuk tetap melakukan apa yang benar, bukan apa yang enak, nyaman dan mudah.
Kadang meski orangtua menyadari bahwa anak adalah manusia yang utuh, hanya saja belum sempurna atau belum memiliki kehendak yang kuat, orangtua merasa perlu untuk mengatur aktivitas anak sesuai dengan ritme orangtua. Anak terus dijejali dengan aturan-aturan, tanpa anak diajak memahami atau menghayatinya. Seperti saat mendidik anak untuk terbiasa sholat. Orangtua merasa perlu untuk selalu menyuruh anaknya sholat sedini mungkin. Apapun aktivitas anak saat itu. Orangtua tidak menyadari bahwa anak butuh waktu untuk bisa beralih dari kegiatan yang sedang ditekuninya. Bukan berarti anak tidak mau diajak sholat atau mematuhi perintah, saat orangtua sekali memintanya. Dan jika kemudian orangtua merasa perlu berkali-kali mengingatkan anak untuk sholat, bahkan hingga dewasa. Pada prosesnya, orangtua mungkin abai bahwa anak adalah pribadi yang utuh. Dengan segala daya nalar dan karakter yang dipunyai, anak butuh proses, anak perlu diakrabkan dengan makna shalat. Alih-alih membentuk kehendak yang kuat untuk sholat pada diri anak, orangtua menafikan daya nalar, karakter dan perasaan anak.
Bagi saya, anak sebagai pribadi yang utuh juga bermakna bahwa dia adalah milik dirinya (dan Tuhannya). Ini juga penting bagi orangtua atau pendidik untuk tidak memaksakan kehendak pada anak. Orangtua tidak sepatutnya mengharuskan anak mengikuti harapan orangtua semata dengan dalih kewajiban bakti pada orangtua. Bahwa anak wajib berbakti kepada kedua orangtua itu benar, tapi bukan berarti orientasi mendidiknya adalah untuk itu. Bagiku sebagai orangtua, semai nilai itu agar menjadi salah satu prinsip hidupnya. Hal ini harus disadari betul dan disadari setiap saat, karena pandangan khalayak umum terbiasa menganggap bahwa anak adalah milik orangtuanya. Alih-alih menyadari betapa orangtua seharusnya mempertanggungjawabkan tugas pengasuhan anak ini pada pemilik mereka yang sejati, yaitu Sang Pencipta.
Pada akhirnya, saya
setuju bahwa menjadi orangtua, kita lebih tepat untuk berlaku selayaknya tukang
kebun. Kita menyiapkan tanah subur untuk tanaman bertumbuh, merawat dan
memupuknya, lalu waktu juga buah (hasilnya) biar dia dan alam yang akan
menampakkannya.
Post a Comment
Post a Comment