Bagi kebanyakan
orangtua, mengirim anak ke sekolah itu bagian dari kewajiban, yang barangkali
dijalani sebagai rutinitas belaka. Adalah lumrah, saat usia dini orangtua
membersamai anaknya, dan ketika mereka memasuki usia sekolah, akan dimasukkan
ke sekolah. Biasanya tanpa banyak pertimbangan. Alasan yang menjadi
pertimbangan biasanya biaya, keamanan sekolah, profil lulusan sekolah yang “berhasil”,
dan kultur sekolah.
Orangtua jarang
memikirkan tujuan mendasar dari memasukkan anaknya ke sekolah. Mengapa anak
perlu sekolah? Agar anaknya belajar? Kenapa anak harus belajar? Agar memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas (berilmu)? Mengapa anak perlu memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas? Agar mudah mendapat pekerjaan yang mapan? Agar
mampu bersaing dan tidak ketinggalan zaman? Agar memiliki kedudukan yang
terhormat?
Setelah menjawab
pertanyaan mengapa ini, orangtua juga perlu merumuskan langkahnya. Bahwa untuk
mencapai itu, apa yang perlu anak perlu pelajari? Dan bagaimana cara anak dapat
mempelajarinya?
Menurut Charlotte
Mason, pertanyaan ini perlu clear orangtua jawab sebelum memutuskan
suatu langkah pendidikan untuk anaknya. Anak adalah tanggung jawab orangtua. Dan
jernih tak jernihnya pemahaman orangtua mengenai pendidikan akan berdampak pada
praktik nyata. Orangtua rentan terombang-ambing, terbawa arus tren popularisme,
dan bisa jadi gampang frustasi saat melihat anak sementara tidak berperilaku
yang diidealkan.
Menurut Charlotte, pendidikan
harusnya merupakan sebuah jalan untuk membawa kita atau anak menuju tujuan
akhir manusia, it’s a way to end. Sebuah jalan yang merawat dan
membesarkan manusia hingga akhir, bringing up. Pendidikan harusnya
membuat manusia yang born persons, manusia yang sebaik-baiknya manusia
dengan segala daya akal budi, mental dan spiritual yang telah dimiliki sejak ia
dilahirkan, seorang insan kamil. Dalam bahasa CM, dia sebutkan dengan manusia
yang magnanimous.
Alih-alih memandang
pendidikan sebagai sistem, CM menyarankan agar orangtua memandang pendidikan
sebagai metode, yang berisi visi atau tujuan akhir dari proses pendidikan yang
dijalani; dan peta prinsip untuk memandu jalan menuju tujuan akhir. Pendidikan tidak
sama dengan sekolah, yang akan memberikan pelajaran-pelajaran pada jenjang-jenjang
dan langkah-langkah yang pasti. Pendidikan bukanlah proses mengkhatamkan buku
pelajaran, apalagi sekedar cek list KKM. Karena anak bukanlah kertas kosong dan
juga bukan makhluk mekanis seperti robot. Mengutip Ellen Kristi dalam bukunya
Cinta Yang Berpikir “mereka itu jiwa yang terus berubah, berproses, bertumbuh,
berkembang, bertransformasi, bukan objek!”.
Metode, amar Charlotte,
berbeda dengan sistem. Dalam sistem, anak-anak masuk dari satu ujung sebagai bahan
mentah, lalu diproses dengan takaran materi, jenjang dan langkah tertentu yang
pasti. Lalu setelah sekian tahun, anak selesai dengan jenjangnya, keluar dengan
ijazah dan toganya, terkemas sebagai produk siap pakai yang terstandardisasi. Pada
sistem yang mengkerdilkan anak seperti ini, tidak sepatutnya orangtua pasrah
bongkokan. Sekali lagi, karena anak itu born persons, pribadi dengan
segala daya akal budi yang dibutuhkan dirinya untuk bertumbuh, pribadi dengan mental
dan spiritual yang telah dimiliki sejak ia dilahirkan.
Pada akhirnya, menjadi
tanggung jawab orangtua untuk memastikan anaknya berproses menuju tujuan akhir dari
pendidikan. Sehingga, sebelum memutuskan untuk mengirim anaknya ke suatu
lembaga sekolah, visi dan prinsip pendidikan yang selaras dengan filosofi
pendidikan keluarga sangat perlu dipertimbangkan. Orangtua harus bersungguh-sungguh
merumuskan filosofi pendidikan keluarga masing-masing. “Sama seperti arus
sungai tak akan lebih tinggi dari hulunya, upaya mendidik anak tidak akan bisa
melampaui konsep pendidikan yang menjadi asal-usulnya”
Post a Comment
Post a Comment