Perlukah Anak Hidup Dalam Rumah Kaca?; Refleksi diri menjadi atmosfer dalam pendidikan anak

Post a Comment

 


Menurut CM, atmosfer atau lingkungan adalah instrumen pendidikan paling penting.  Atmosfer atau lingkungan merupakan segala hal yang melingkupi anak, manusia dengan perilaku natural yang dilakukakannya, benda-benda, suasana, dan banyak hal; baik yang tampak ataupun tidak. Tetapi, lingkungan yang dimaksud bukanlah yang direkayasa, disiapkan khusus untuk anak. Bagi CM hal demikian justru mengkerdilkan anak.

Dulu waktu anak saya masih kecil, saya cukup sering membuatkan media belajar dari barang-barang bekas seperti kardus dan kadang bahan sengaja beli. Namun, lama-lama saya capek dan bosan sendiri, mungkin karena hal tersebut tidak natural. Padahal sejatinya, jika dipikir-pikir ulang di rumah anak sudah terbiasa terpapar dengan berbagai tekstur yang menstimulasi motoriknya, melibatkan anak dalam pekerjaan rumah itu juga sangat membuatnya belajar. Dalam kegiatan memasak misalnya, memetik bayam itu melatih motorik halusnya, mengupas dan mencium bawang melatih indra penciumannya, dan banyak hal lain. Jadi anak belajar banyak dari kehidupan natural yang dialaminya. Belajar dari aturan yang dibuat di rumah, belajar lewat kesalahan yang diperbuat, belajar mengelola perasaan sedih dan cemburu saat si adik lahir, belajar berbagi dengan kakak ataupun adik, belajar mengatasi konflik dengan saudara, terlebih belajar mencintai alam dengan bersuka cita menjelajah alam.

Hanya saja, bagi kami PR terbesarnya adalah berproses menjadi atmosfer yang positif bagi pendidikan dan tumbuh kembang anak. Karena tidak bisa berpura-pura baik di hadapan anak dengan harapan agar anak memiliki karakter baik, apalagi hanya memerintahkannya, kami sebagai orangtua perlu mewujudkan kebaikan laku yang dicitakan ada pada diri kami juga. Kami perlu berbenah diri. Kami perlu berlatih mennyiangi perilaku-perilaku buruk yang dulu biasa kami lakukan, entah dari mana asalnya. Karena saya mengimani jika saya ingin anak saya memiliki suatu kebiasaan baik, saya sendiri yang pertama harus melatihkan kebiasaan baik tersebut pada diri sendiri. Anak akan menangkap mana lingkungan yang artifisial dan mana yang natural, untuk kemudian memilih meniru yang natural. Dan rasanya, saya banyak belajar, berproses dan bertumbuh menjadi lebih baik dengan mempunyai anak. Dengan menyadari kehadiran anak, saya melihat ada berbagai topeng yang selama ini saya kenakan dan anak melucuti semua itu. Emosi yang meledak, yang rasanya dulu saya tidak mampu melakukan itu; kesedihan dan kekhawatiran untuk hal remeh yang mungkin tidak mampu diekspresikan. Tapi saya sadar menjadi orang tua yang menjadi atmosfer bagi pendidikan anak tidak berarti harus sempurna, harus selalu sabar dan tenang dalam segala keadaan. Tapi saya belajar, berproses. Saya melakukan kesalahan, saya meminta maaf, dan belajar dari kesalahan itu. Saya yakin dari kesalahan saya ini, anak akan belajar bagaimana memperbaiki kesalahan. Saya bersedih, gundah saat menghadapi masalah; saya menangis, mengambil jeda untuk emosi saya lalu mengambil langkah selanjutnya dengan lebih jernih dan tenang. Dari kelemahan saya ini, anak belajar bagaimana mengelola emosi; bagaimana menghadapi masalah. Kata Charlotte, ketika anak-anak tertarik pada seluk beluk kehidupan riil orangtuanya, dan orangtua tertarik pada materi pelajaran anaknya, terbentuklah satu persahabatan istimewa di antara mereka. Kawan seperjalanan yang menyenangkan dalam proses membangun karakter ideal dan mengejar pengetahuan.

Jadi pilihannya adalah kita buat anak tumbuh dalam atmosfer bak rumah kaca yang cahaya, suhu, udaranya kita atur sedemikian rupa hingga ia tumbuh elok sempurna tapi ternyata ringkih di luar, seperti tampak berprestasi tapi tidak mandiri dan punya inisiatif. Pilihan lain membiarkan anak tumbuh dalam alamnya yang nyata, ditiup udara terkena matahari dihinggapi kupu-kupu namun tetap kita jaga dan rawat sebaik mungkin agar dia tidak hancur sebelum saatnya berbunga. Karena dalam lingkungan yang alamiah, akan selalu ada orang baik dan yang jahat, kita tetap perlu menjaganya agar tidak terkontaminasi racun, dalam bentuk kawan bejat. Menguatkan bonding dengan anak, membekalinya dengan prinsip hidup dan ketrampilan dalam bersosialisasi barangkali bisa menjadi benteng jika suatu saat racun itu menghampiri.

Artikel Terkait

Post a Comment