Sejak dulu kala,
parenting adalah isu yang seringkali diperbincangkan. Tentang bagaimanakah cara
terbaik untuk mengasuh dan mendidik anak?; bolehkah orang tua berlaku apa saja
untuk menundukkan anak agar selalu patuh terhadap aturan dan perintah mereka? Atau
apakah orang tua perlu mengedepankan perasaan anak; tidak boleh ada hukuman
atau perintah apapun yang menyakiti atau membebaninya?. Barangkali variasi dua
kubu ekstrem ini banyak kita temukan dalam masyarakat kita. Sebagian anak
diabaikan dan sebagian yang lain dimanjakan.
Di sini, Charlotte
Mason mengenalkan ide yang cukup menggugah kesadaran. Charlotte bilang bahwa
semua orang tua “dari sononya” dibekali dengan otoritas terhadap anaknya.
Ketika seseorang diamanahi peran menjadi orangtua, adalah fitrahnya dia
memegang otoritas atas anaknya. Dan anak, secara fitrah juga dibekali intuisi
untuk patuh pada otoritas orangtua. Otoritas dan ketaatan ini mutlak dimiliki
kedua belah pihak, orangtua dan anak, sebagai sebuah titipan. Saya sendiri
meyakini otoritas mutlak diperlukan untuk menciptakan ketertiban. Sayangnya,
otoritas dan ketaatan ini seperti sebuah paradoks. Ketaatan dan otoritas ibarat
dua mata koin. Sebagaimana bumi akan berjalan pada jalur yang tepat, meskipun
ada dua kekuatan yang menariknya. Sama halnya anak, selalu ditarik oleh
kekuatan yang mengarahkan pada keteraturan dan kekuatan lain yang mengarahkan
pada pemberontakan.
Dari keyakinan akan prinsip otoritas dan ketaatan sebagai fitrah, bekal bawaan yang disertakan Tuhan seiring dengan amanah anak, orang tua juga perlu menyadari batasannya untuk tidak menyeleweng. Ibu CM mengingatkan, otoritas seharusnya dipersembahkan untuk memberi manfaat dan melayani kepada pihak yang berada di bawah otoritas itu.
Dalam refleksi saya, otoritas bisa cidera dengan tindakan yang menyalahi koridor atau misinya. Di satu sisi, ketaatan itu pondasinya adalah kepercayaan pada pihak yang punya otoritas. Dalam contoh kita yang biasanya takut ketika melihat polisi di jalan, rasa takut polisi ini karena segan dengan polisi sebagai figur yang otoritatif atau karena takut ditilang? Saya melihat dalam konteks Indonesia, rasa takut ini biasanya semata karena takut, sehingga kepatuhan berlalu lintas saat ada polisi tersebut ya karena takut ditilang, takut dimanipulasi dsb. Karena citra polisi yang sudah cidera di mata masyarakat.
Bagaimana dengan
anak? Anak secara fitrah terlahir dengan kepatuhan. Dia akan patuh pada
orangtuanya, caregiver atau pengasuhnya.
Tapi, anak secara fitrah juga mampu memahami kebenaran dan keburukan.
Saat bayi menyusu dan menggigit puting ibunya, lalu si ibu bereaksi dengan
menjerit dan mengatainya nakal, bayi akan menangis dan membuatnya enggan
menyusu kembali. Bayi mengerti. Nah, otoritas yang mewajibkan ketaatan mutlak
ini pada suatu titik bisa jadi boomerang. Kepatuhan anak pada orangtua benar
taat pada otoritas atau karena dependensi. Ini akan tergambar dari bagaimana
orangtua menggunakan otoritasnya, karena sejatinya otoritas orangtua semestinya
tunduk dan dibatasi oleh Otoritas yang tertinggi. Dan orangtua perlu yakin
dengan apa yang dia bawa atau diamarkan itu benar.
Lalu, bagaimana
cara agar anak taat bukan karena takut, sehingga anak akan tetap taat pada
nilai yang diamarkan dengan ada atau tidak-adanya orangtua? Bagi saya, orangtua
perlu dulu paham dan yakin kebenaran yang dipegang. Relasi keduanya harus
dibangun atas dasar prinsip. Yang berkuasa bukanlah orangtua ataupun anak,
melainkan hukum (hukum Tuhan, hukum alam, hukum universal) Kebenaran. Ketika
orang tua meminta anak untuk memakan sayur lalu anak menolak, maka orangtua
perlu mengupayakan ketaatan anak karena mereka yakin bahwa makan makanan yang
seimbang adalah yang sehat dan diperlukan tubuh. Motivasi penegakan ketaatan
anak bukan atas dasar kesewenang-wenangan ‘makan ini, atau itu, karena aku
sudah memerintahkannya! Jangan ngeyel!’.
Pada prakteknya,
orangtua mungkin menemui tantangan pemberontakan dari anak seperti di atas.
Betapapun orangtua sebenarnya memberikan perintah atas dasar kebenaran. Otak
anak cenderung belum matang dan kehendaknya belum kuat, pada usia dini anak
cenderung suka memilih melakukan apa yang mudah dan enak bagi dirinya. Anak
belum mampu memerintah dirinya untuk beralih kepada yang dibutuhkan oleh
dirinya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Di sinilah, orangtua
sebagai figur yang otoritatif harus berusaha melayani sisi pemberontakan anak.
Berdasarkan hukum alam, hukum Tuhan. Dalam principle parenting, orangtua dan
anak duduk sama rendah, berdiri sama tinggi di hadapan Hukum. Orangtua tunduk pada
hukum universal tentang perkembangan anak dan anak tunduk pada hukum otoritas,
ajaran ilahi. Aturan atau ketaatan pada nilai ini juga mengikat orangtua.
Sehingga orangtua juga perlu konsisten dan menyadari akan kewajiban tersebut.
Anak bisa membedakan mana yang memerintahkan dengan suka-suka dan mana yang
memerintah dia sendiri patuh pada otoritas tertinggi. Seperti kata CM, jika
anak-anak berulang kali meminta dispensasi, pertanda anak memahami bahwa
otoritas ada pada pendidik, bukan pada nilai atau Otoritas tertinggi.
Menurut CM, menjadi
figur otoritatif artinya orangtua perlu mendukung sisi pemberontakan dalam diri
anak. Orangtua perlu menjaga keseimbangan antara kebebasan dan kepatuhan agar
hidup anak tetap berjalan pada jalur yang tepat. Orangtua perlu menemukan jalan
tengah supaya anak tetap setia pada orbit yang seharusnya. Maka menjadi
kenikmatan tersendiri ketika orangtua sudah memahami betul esensi dan cara
menggunakan otoritasnya, sehingga tidak lagi ada ledakan amarah, emosi yang
tidak terkendali, ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap anak. Dan saya setuju dengan apa kata CM, orangtua
harus menawarkan kebebasan kepada anak. Mengatur anak tanpa anak merasa
ditindas, sehingga anak merasa mereka memutuskan untuk taat atas keinginan sendiri
dan dengan senang hati mematuhi aturan itu.
Tapi pertanyaan
selanjutnya; bagaimana menjadi otoritatif yang mendukung sisi pemberontakan
dalam diri anak? Salah satunya dengan memberikan pilihan yang terbatas, lalu
orangtua mengajukan pertanyaan yang memfasilitasi pemberontakan anak. Orangtua
perlu bersiap dengan mindset bahwa anak akan mencoba melewati batas. Dengan
begitu, orangtua menjadi lebih siap untuk menyiapkan alternatif cara untuk anak
melakukannya dan bersiap juga dengan apapun respon anak. Ketaatan mensyaratkan
kepercayaan. Kepercayaan ini akan terwujud jika ada bonding dan penerimaan
orangtua akan apapun kondisi anak. Saya setuju dengan apa yang mbak Cici
bilang, koneksi sebelum koreksi. Psikolog Becky Kennedy mengibaratkan hubungan
orangtua dan anak itu ibarat celengan. Bonding atau ikatan yang dibangun
orangtua dengan anak dalam suasana senang dan bahagia adalah tabungan emosi
bagi anak. Dan setiap kali orangtua meminta anak melakukan hal-hal yang tidak
disukainya itu ibarat mendebet celengan tersebut. Jadi alih-alih terus mendebet
rekening emosi anak, orangtua perlu berlaku otoritatif dengan tetap memberikan
anak pilihan dan kontrol atas dirinya.
Tapi tidak selalu
menerapkan otoritas itu dengan memberikan pilihan. Adakalanya perintah orangtua perlu anak lakukan tanpa bisa ditawar, suka atau tidak suka. Anak juga perlu
belajar taat pada otoritas, karena pada kenyataannya tidak selamanya aturan
atau kebenaran yang kita yakini itu adalah hal yang menyenangkan. Seperti hal
melatih anak untuk sholat lima waktu. Orangtua perlu bersabar dan konsisten
tegas meminta anak untuk sholat pada waktunya. Tegas bukan berarti keras. Jika
anak belum mampu untuk memerintah dirinya untuk sholat, orangtua perlu
mengingatkan dan meminta anak melakukannya dengan kalem sampai anak berangkat
menunaikan perintah tersebut. Di sisi lain yang tidak kalah penting adalah
teladan. Orangtua perlu menjadi teladan, yang terdepan melakukan apa yang
diperintahkan oleh dirinya sendiri.
Post a Comment
Post a Comment