Pendidikan adalah kehidupan; Belajar untuk bertumbuh

Post a Comment

Ini adalah instrumen pendidikan terakhir dalam pendidikan a la CM. Prinsip ini berdiri di atas keyakinan bahwa akalbudi adalah sesuatu yang hidup. Sebagai sesuatu yang hidup, dia butuh asupan yang terus-menerus, tertata, dan sesuai kebutuhan. Sebagaimana tubuh, untuk bisa bertumbuh dan hidup dia perlu dipasok dengan makanan sehat secara terus menerus, tertata beraneka ragam kandungan gizinya sesuai kebutuhan. Bagi Charlotte, ini adalah alasan mengapa anak perlu belajar. Anak perlu bertumbuh; jiwa dan raganya, akalbudi dan tubuhnya. Jadi anak belajar bukan sekedar untuk tahu dan mengerti. Tubuh tidak bisa dipuaskan dengan sembarang makanan “asal kenyang”. Begitu pula tujuan anak belajar bukanlah sekedar supaya tahu. Asal kenyang dan asal tahu adalah standar minimal untuk bertahan hidup, amar CM.

Nah makanan jiwa, akalbudi manusia, menurut Charlotte, hanya ada satu yang dapat dicerna oleh akalbudi yaitu ide atau gagasan. Suatu gagasan yang berdaya hidup bagi akalbudi, yang memantik akalbudi untuk merenungkankan, melakukan suatu aksi, atau mungkin menemukan sesuatu. Sebagaimana kita yang saat ini tergerak untuk memikirkan dan melakukan sesuatu yang lebih baik untuk pendidikan anak kita setelah kita terpapar oleh gagasan Charlotte Mason tentang pendidikan.

Dan inilah salah satu fungsi utama pendidikan, memasok benak anak dengan gagasan luhur. Tugas kita, orang tua dan pendidik, untuk menyediakan bagi anak gagasan-gagasan terbaik, terhebat, terluhur, terunggul, termulia, terluar biasa, segala aspek kekayaan hikmat yang tersedia di alam semesta, dalam riwayat bangsa kita serta sejarah umat manusia. Tugas orangtua dan pendidik, adalah menyediakan meja yang disiapkan dengan seksama penuh berisi makanan lezat, sehat, dan beragam. Karena akalbudi dan jiwa, sebagai yang berdaya hidup, tetap akan memakan ide apapun yang ditemui. Jika kita tidak menyuplainya dengan ide luhur, maka akalbudi akan memakan ide receh dsb dari sumber-sumber yang bisa jadi menyesatkan.

Masalahnya, mustahil orang tua dan guru, paling cerdas sekalipun, memiliki perbendaharaan ilmu dan gagasan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Tentu dibutuhkan buku-buku terbaik. Buku-buku bermutu yang menawarkan ide-ide, buku-buku yang tidak sekedar menyajikan fakta dan aneka latihan akademis. Buku yang memiliki daya hidup di dalamnya, living books. Dan orangtua juga pendidik perlu awas dalam memilah dan memilih dalam hal ini, karena tidak semua buku sama bernutrisinya. Sering atau bahkan selalu memberikan anak buku ‘pelajaran’ yang berupa teks-teks garing, ringkasan fakta-fakta, yang harus dia hafalkan dan sebutkan saat ujian bisa menghambat pertumbuhan akalbudi anak, pikiran mereka menjadi kerdil. Saya menyukai perumpamaan yang dituliskan CM, “seolah-olah anak-anak itu meminta roti dan kita memberi mereka batu, segala macam informasi fakta dan peristiwa yang tak menggugah pikiran mereka, dan akhirnya hanya mereka buang bulat-bulat tanpa dicerna (di atas kertas ujian?)”. Sehingga rasa-rasanya, tak aneh jika fenomena tawuran pelajar, degradasi moral, masih banyak kita temui. Mental mereka lelah dan pikiran mereka kerdil, meskipun terlihat pelajaran sekolah sudah memiliki kurikulum yang kaya.

Selanjutnya, oleh karena akalbudi ini butuh untuk bertumbuh, dia perlu untuk mencerna sendiri asupan ide yang diberikan. Tugas orangtua dan pendidik di sini hanya memberikan jamuan ide yang kaya dan berkualitas, lalu membiarkan anak memilih sendiri jamuannya. Saat suatu ide itu memantik dirinya, dia jelas akan membangun relasi dengan ide tersebut. Di sini-lah akalbudi mulai bekerja dan tumbuh. Intervensi yang kita lakukan seperti memberikan kesimpulan, mengajukan pertanyaan komprehensif, itu seperti kita mengunyahkan ide kepada anak, anak memakan makanan yang sudah kita kunyah. Jelas dia kehilangan proses mengunyah, kehilangan proses menjalin relasi dengan ide. Dan itu akan melemahkan kerja akalbudi.

Nah menurut CM, saat kita melihat anak kita tidak terpantik dengan ide yang kita sajikan atau bahkan melihat ide lain dalam cerita yang kita bacakan, lalu kita terburu-buru langsung menawarkan opini kita pada anak-anak, itu adalah kesalahan. Karena sekali ide dikristalisasi ke dalam opini, maka vitalitas ide-ide itu telah rusak. Saya sendiri baru menyadari kesalahan saya ini saat mempelajari ulang tentang pemikiran CM ini, dan benar saya menemukan bahwa anak saya kemudian sepertinya cenderung tidak menjalin relasi dengan suatu ide apapun dari cerita yang saya bacakan. Sepertinya ini karena saya yang kadang mengajukan pertanyaan komprehensif atau berusaha membelokkan ide yang anak tangkap dengan opini dan atau dogma agama yang saya ingin anak pegang. Jadi respon anak saya saat itu apakah seperti ungkapan ya udahlah terserah ibu aja, apa kata ibu saja. Duh..

Padahal menurut CM, yang terpenting kita lakukan adalah memasok ide-ide berkualitas sebanyak mungkin setiap hari, bukan menggemblengnya untuk menghasilkan suatu keluaran. Kata CM, lebih baik menyuruh mereka membaca tema tertentu sebelum menyuruh mereka menulis tentang itu, dan memberi kebebasan seluas mungkin bagi mereka untuk menuliskan apa saja yang mereka sukai.

Ini salah satu alasan saya juga saat ini memilih homeschooling bagi anak saya. Saya melihat dalam pendidikan konvensional, sebagaimana yang saya alami dulu, nilai itu adalah target keluaran yang berusaha dicapai. Sehingga setiap kali akan ujian, kita diberikan kisi-kisi soal diberikan ringkasan pelajaran. Mungkin benar, bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran di sekolah seolah dibuat untuk memudahkan pekerjaan orang dewasa dengan target-target yang dimilikinya. Di sinilah ide yang itu adalah makanan akalbudi absen dalam buku pelajaran atau bahkan pembelajaran di sana. Harapan agar anak-anak bertumbuh akalbudinya susah diwujudkan dalam atmosfer tersebut.

Newest Older

Artikel Terkait

Post a Comment