Seni Mendidik Anak Dengan Disiplin Kebiasaan Baik

Post a Comment


Barangkali kita pernah mendengar salah satu pesan sahabat Ali bin Abi Thalib berikut: “Perhatikan pikiranmu, karena itu akan menjadi kata-katamu. Perhatikan kata-katamu, karena itu akan menjadi tindakanmu. Perhatikan tindakanmu, karena itu akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu, karena itu akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu, karena mereka akan menjadi takdirmu.”

Pesan tersebut secara jelas memberitahukan kepada kita tentang betapa pentingnya membangun kebiasaan baik. Kata Charlotte, kebiasaan ini memiliki kekuatan 10x lebih besar dibanding sifat bawaan. Bagaimana tidak, menurut kajian neuroscience, struktur otak manusia itu beradaptasi mengikuti jalur-jalur pemikiran yang dibiasakan, itulah kebiasaan-kebiasaan kita. Pada akhirnya, rentetan pikiran dan tindakan itu yang nantinya akan menjadi mekanisme respons otomatis dan refleks tubuh.

Yang perlu diwaspadai kemudian adalah sekali kita punya kebiasaan buruk, maka akan susah bagi kita untuk beralih menuju ke kebiasaan yang lebih baik. Kata Ellen, “Sekali rel itu dipasang ke arah tertentu, kereta mau tak mau akan meluncur ke sana, terus memakai jalur lama itu sampai ada jalur rel baru penggantinya”. Masalahnya mengubah kebiasaan di saat dewasa itu butuh usaha lebih, karena jalur sinapsis dalam otak kadung mapan. Kadung terbentuk otot-otot tubuhnya. Dan saat itu terjadi, dia akan menjadi orang dewasa yang dihantui kegugupan dan keraguan untuk memilih. Dia memiliki banyak pengetahuan dan idealisme akan kebenaran, tapi tidak tahu dan gagap untuk melakukannya.

Pertanyaannya kapan dan siapa yang bisa memasangkan rel jalur kebiasaan anak?. Itu adalah tugas utama orang tua dan pendidik untuk memastikan bahwa anak memiliki kebiasaan laku, ucap, pikir, dan rasa yang benar, sedini mungkin. Karena pendidikan sejatinya merupakan upaya merawat dan membesarkan manusia yang sebaik-baiknya manusia dengan segala daya akal budi, mental dan spiritual yang telah dimiliki sejak ia dilahirkan, seorang insan kamil. Upaya melatihkan kebiasaan baik sedini mungkin ini tentu akan memudahkan anak mengaktualisasikan dirinya, menjadi versi terbaik dirinya saat dewasa. Saat dewasa, anak tidak perlu lagi bersusah payah mengupayakan berbuat baik, berkata baik, memiliki pemikiran baik, dan memiliki perasaan yang baik terhadap sesama dan alam, secara sadar. Pilihannya bagi orangtua adalah membiasakan kebiasaan baik bagi anak atau anak akan memiliki kebiasaan sebaliknya, karena secara naluriah manusia cenderung memilih apa yang enak, mudah, dan nyaman bagi dirinya.

 

Hanya saja, dalam prakteknya seringkali orangtua dan pendidik tidak peka terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk anaknya. Orangtua baru merasa harus membenahi perilaku anak saat itu terlihat ‘menganggu’ dirinya. Orangtua kemudian berlaku reaktif, mengeluarkan ultimatum, hukuman, dan lain sebagainya; “ayo bereskan mainannya, kalau tidak nanti ibu buang”. Karena takut, saat itu anak mungkin melakukan, tapi besok dan besoknya anak kembali ke kebiasaan awal. Dan saat orangtua merasa baik-baik saja, perilaku itu pun tampak bukan masalah bagi orang tua. Pembiasaan baik atau disiplin bukanlah ledakan hukuman yang acak, melainkan kewaspadaan dan usaha terus menerus untuk membentuk dan memelihara kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik.

Dalam hal ini, saya sangat sepakat dengan Charlotte Mason untuk menjadikan disiplin sebagai salah satu instrumen pendidikan. Menteledankan baik saja belum cukup, orangtua tidak bisa hanya berpangku tangan menunggu anaknya terinspirasi untuk kemudian melakukan apa yang dirinya lakukan. Orangtua perlu secara aktif melatihkan kebiasaan baik secara konsisten, terencana dan bertahap. Rasa-rasanya mungkin susah untuk merencanakan dan konsisten mendampingi anak saat proses melatih kebiasaan baik. Butuh waktu lebih dan penuh kesadaran, dan mungkin lebih enak rasanya saat anak melakukan ‘kekacauan’ langsung kita saja yang membereskan. Saat anak tidak menyahut saat dipanggil, kita hampiri dan jawil saja. Saat anak memberantaki mainannya, kita saja yang membereskan karena toh jika mereka yang melakukan tidak akan rapi. Benar apa kata Charlotte, “ibu itu sendiri harus memiliki kebiasaan melatihkan kebiasaan atas anaknya, sehingga lambat laun melatihkan kebiasaan baik itu bukan lagi masalah, namun justru kesenangan baginya”. Melatihkan kebiasaan baik ini juga tidak perlu menunggu si ibu menjadi pribadi yang sempurna baik, melainkan akan sangat bermanfaat bagi ibu sendiri dengan juga melatihkan kebiasaan baik bagi diri sendiri.

Prinsip disiplin yang dilakukan secara konsisten, terencana dan bertahap ini beriringan dengan prinsip bahwa anak adalah pribadi utuh. ini benar-benar menjadi PR bagi saya. Pendisiplinan dengan cara-cara ceramah atau manipulasi kharisma dan rasa takut anak sejatinya bukan membiasakan anak pada kebiasaan baik. Pembiasaan baik perlu dilakukan secara gentle. Ukuran keberhasilan pendisiplinan bukan kepatuhan anak seketika, tapi ketika orangtua bisa merasa tenang meninggalkan anaknya berkegiatan sendiri, tanpa bolak balik merecoki anak dengan perintah dan petunjuk tanpa akhir, memberondongnya dengan Harus dan Jangan. Orangtua mampu membiarkan anaknya memilih jalannya sendiri, karena mereka sudah memastikan bahwa anaknya memiliki kebiasaan baik yang akan menuntun mereka untuk mengambil jalan yang benar.

Artikel Terkait

Post a Comment